efek daun

Minggu, 26 Mei 2013

UBAHLAH DIRIMU SENDIRI

Allah awt. berfirman, mengapa kamu memerintahkan orang lain untuk mengerjakan kebajikan, sedangkan kamu sendiri melupakan dirimu dan padahal kamu sekalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Apakah kamu tidak berfikir?” Surah Al-Baqarah, ayat 44 di atas memang turun untuk bangsa Yahudi Madinah, namun memiliki makna yang terus dapat digali buat umat Islam sekarang ini. Asbabun Nuzul (latar belakang dari diturunkannya) ayat ini adalah, ada seorang lelaki berkata kepada menantunya, kaum kerabat dan saudara sesusunya yang telah memeluk agama Islam, “Berpegang teguhlah kamu kepada ajaran agama Islam yang telah kamu peluk dan taatilah apa saja yang diperintahkan Muhammad. Sebab segala sesuatu yang diperintahkan oleh Muhammad adalah benar.” Lelaki itu memerintahkan kepada orang lain untuk berbuat baik, tetapi dia sendiri tidak melakukannya. Sehubungan dengan itu, maka Allah swt memberi peringatan kepadanya agar agar tidak melupakan diri sendiri. (HR. Al-Wahidi dan Tsa’labi dari Abi Shahih dari Ibnu Abbas). “Apakah kamu ridak berfikir?” demikian Allah menyindir orang Yahudi Madinah dalam firman-Nya. Kebiasaan ‘tidak berfikir’ sebelum berkata, seringkali bukan hanya milik sang Yahudi Madinah tapi juga kenyataan yang terus dilakukan manusia hingga sekarang. Ia tidak lagi menjadi ciri khas sang Yahudi namun juga karakter ummat Nabi Muhammad saat ini. Menyeru agar orang lain berbuat baik tapi lupa mengoreksi diri apakah ia sendiri betul-betul telah berbuat baik. Melupakan diri sendiri sebagai obyek yang harus diperbaiki kadang menggejala di dalam diri kita. Dengan menganggap bahwa kita telah benar-benar mengerjakan perintah Allah lalu kita menyeru kepada yang lainnya, “Tinggalkanlah kemungkaran!’ bahkan yang levih parah kita seringkali memanggil saudara kita yang kita anggap melanggar perintah Allah dengan ucapan : ‘Hai kafir!’ atau sambil mengumpat ‘Dasar kafir!’ Apalagi sekarang, ditengah lautan informasi yang mengepung hidup, kita seringkali tergoda untuk turut serta mengungkapkan pendapat yang kurang sedap di telinga. Kita berpartisipasi menyukseskan prasangka-prasangka negatif yang dibangun media massa. Apa yang kita baca, kita dengar dan kita lihat adalah sebentuk informasi yang kadang sulit dan jarang disaring nurani. Mulai dari pagi sampai pagi lagi, media dalam wujud apa pun terkadang banyak membentuk gambaran manusia yang baik menjadi buruk dan dan yang buruk menjadi baik demi kepentingan bisnis semta. Kadangkala kita luput bertanya pada diri sendiri, ‘Apakah orang lain itu benar-benar berbuat kemunkaran? Betulkah orang itu layak dicap kafir?” dan ungkapan-ungkapan sejenis lainnya. Kita lupa menanamkan di dalam hati bahwa Allah yang berhak menilai, bahwa Allah yang berhak mengatakan si’ A telah munkar, si B telah kafir’ dan seterusnya. Padahal, kita sendiri pun tidak tahu, bisa saja suatu hari nanti ‘yang munkar dan kafir itu’ besok justru menjadi ahli ibadah, dan malah kita yang justru menjadi kafir dan munkar. Nabi sendiri bersabda dalam riwayat Bukhari dan Muslim, “Siapa yang memanggil seseorang dengan kata-kata ‘hai kafir’ atau ‘hai musuh Allah’ padahal yang dipanggil tidaklah demikian, maka kata kata-katanya akan kembali kepada dirinya. “Naudzubillah. Dan Allah secara terang-terangan menyatakan ‘Maka Allah menyesatkan orang yang ia kehendaki dan ia juga menghendaki untuk memberi petunjuk’ (QS. Ibrahim: 4) singkatnya, sesuatu yang buruk di mata kita belum tentu buruk di mata Tuhan. Hal tersebut pun sering terbawa-bawa dalam do’a kita. Kita berharap dapat mengubah orang lain agar berbuat baik, agar berbuat bajik, dan agar meninggalkan kemunkaran lantaran kita menganggap bahwa diri kita sudah benar-benar di jalan Allah swt. Betulkah demikian? Hanya Allah yang Maha tahu. Bahkan, seorang sufi terkenal, Bayazid Bistami pun merasa menyesali hidupnya selama ia berharap dan berdoa seperti demikian. Untuk lebih lengkap begini ceritanya: Pada suatu kesempatan, Bayazid Bistami bercerita tentang dirinya seperti berikut ini, “Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan akan selalu berdo’a, ‘Ya Allah berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia’! “ketika aku sudah separuh baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah do’aku menjadi, ‘Ya Allah, berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia’! “Ketika aku sudah separuh baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah do’aku menjadi , ‘Ya Allah, berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku, keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas’. “Sekarang ketika aku sudah tua dan saat kematianku sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Doaku satu-satunya sekarang adalah, ‘Ya Allah, berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri.’ Seandanya sejak semula aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku!’ (Mello, 1993: 187) Demikian sufi Bayazid, jauh-jauh hari, telah menuturkan kisahnya untuk diambil pelajaran berharga bagi generasi berikutnya. Mengapa kita tidak memulai memeriksa diri sendiri, amal kita, perbuatan kita dan ucapan kita dari sekarang? Bukan ayah, bukan ibu, bukan anak, bukan guru, bukan kawan, bukan ustadz, bukan ulama, bukan siapa-siapa. Allah berfirman, wahai orang-orang yang beriman, peliharah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu ...”. Dalam QS. At-Tahrim ayat 6 tersebut, Allah pertama kali menyebut diri kita sendiri untuk dijaga baru kemudian keluarga. Kenapa Allah tida menyengaja menyebut ‘keluarga atau ummat’ terlebih dahulu kalau bukan memang kehidupan diri sendirilah yang utama kita perhatikan, kita perbaiki. Pasalnya Allah sendiri berfirman: “Dan semuanya menghadap Tuhan di hari kiamat nanti sendiri-sendiri..” (QS. Maryam: 95) Wallahu a’lam bil shawab. (Muaz) sumber: Hidayah edisi 25/ Agustus 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar